Jakarta – Pakar Telekomunikasi dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo mengatakan penghentian penambahan jumlah pelanggan baru di Indonesia oleh Starlink dianggap aneh.

Pasalnya, setiap perusahaan dinilai mempunyai rencana bisnis guna mengantisipasi kenaikan kebutuhan layanan telekomunikasi di suatu wilayah.

“Langkah Starlink saat ini sebagai strategi untuk mendapatkan tambahan alokasi frekuensi. Mereka ingin menekan pemerintah, dalam hal ini Presiden Prabowo melalui Komdigi, agar diberikan tambahan frekuensi,” katanya pada Kamis (17/7/2025).

“Dengan dalih kapasitas yang sudah tidak mencukupi, Starlink berharap bisa memperoleh frekuensi tambahan, padahal frekuensi yang mereka inginkan belum diatur oleh ITU (International Telecommunication Union).”

Starlink berusaha menggiring agar diberikan kepada mereka terlebih dahulu yang mirip dengan fintech yang ingin berusaha melalui regulasi sandboxing.

“Intinya, Starlink ingin menguasai frekuensi yang belum diatur ITU itu untuk kebutuhan bisnis mereka di Indonesia,” ucapnya.

Agung Harsoyo meneruskan Pemerintah Indonesia harus mengaudit keberadaan dan permintaan Starlink yang sudah beroperasi satu tahun terakhir. Langkah ini setelah memperluas pangsa pasar mereka ke segmen konsumen.

“Pada dasarnya prinsip dasar regulasi telekomunikasi dibuat untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh pelaku usaha,” ucapnya.

“Sebagai penyelenggara telekomunikasi, layanan berbasis satelit milik Elon Musk itu harus memiliki komitmen pembangunan dan investasi yang akan ditanamkan di Indonesia, seperti membangun jaringan telekomunikasi di daerah 3T untuk melayani fasilitas pelayanan publik.”

Pemerintah harus bisa menegakkan aturan dan menagih janji Starlink dan Elon Musk. Sampai saat ini saya belum melihat komitmen pembangunan Starlink. Janji untuk tidak menjual layanan di daerah yang sudah memiliki layanan seluler dan fiber optik juga tidak mereka penuhi.

“Ini sama saja Starlink tidak mendukung program pemerintah dalam memberikan layanan telekomunikasi di Indonesia, khususnya di daerah blankspot,” kata anggota BRTI periode 2015-2018 itu,” tuturnya.

Sebelum menyediakan layanan ritel di Indonesia, Starlink hanya diberikan izin menjadi backhaul untuk menghubungkan base transceiver station (BTS) di daerah 3T pada tahun 2022.

Seiring berjalannya waktu, Starlink mendapatkan izin menjual layanan telekomunikasi ritel di tahun 2024.

Namun, kehadiran Starlink di Indonesia turut mendapat sorotan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang telah mengkaji masuknya penyedia jasa internet Low Earth Orbit (LEO) dari berbagai aspek seperti kebijakan Pemerintah, persepsi konsumen, kesiapan infrastruktur atau teknologi, dan konsentrasi pasar jasa internet.

Berdasarkan rekomendasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam melakukan bisnisnya, Starlink wajib bekerja sama dengan pelaku telekomunikasi dan UMKM.

Selain itu hanya boleh beroperasi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi. Namun, semua regulasi dan perintah regulator tersebut tidak dipatuhi oleh Starlink.

“Sebagai negara berdaulat, seluruh pelaku usaha telekomunikasi asing wajib tunduk dan taat kepada regulasi di Indonesia. Jika tidak taat, hentikan saja kegiatan usaha mereka,” ucapnya. (adm)

Sumber: detik.com